Jalan Panjang dan Berliku SIN


 


DI TENGAH epidemi Covid-19 serta panas kemarau yang menghela efek krisis ini, Ditjen Pajak mendadak mengutarakan ide lama yang belum terealisasi. Ide lama itu ialah penyelarasan data kependudukan serta perpajakan, atau terkenal disebutkan single identification number (SIN).Dirjen Pajak Suryo Utomo menjelaskan pemerintah sedang berusaha menyelaraskan data nomor induk kependudukan (NIK) serta data nomor inti harus pajak (NPWP). Bila sukses, penyelarasan itu akan membuahkan efek positif buat usaha kenaikan akseptasi pajak.Dengan penyelarasan itu, kewenangan pajak akan makin gampang lakukan pencatatan atas harus pajak atau bukan harus pajak. "Jadi ini masih seperti NPWP, fasilitas analisis sebetulnya," tutur Suryo, menjawab pertanyaan wartawan selesai rapat kerja bersama-sama DPR, Kamis (3/9/2020).

Jenis Ayam Laga Paling Ditakuti

Baca : Stimulan Pajak untuk Menarik Investasi, Sepadankah Ongkosnya?Memang, dari penyelarasan NIK serta NPWP ini akan diketahui, mana saja harus pajak orang pribadi yang belum mempunyai NPWP. Dengan penyelarasan ini juga jumlah harus pajak orang pribadi bertambah, hingga diinginkan akseptasi pajak sekaligus juga rasio pajak bisa bertambah.


Terobosan ini penting sebab susunan akseptasi pajak kita bertambah didominasi pajak pendapatan (PPh) tubuh serta pajak bertambahnya nilai (PPN). Tidak sama dengan susunan akseptasi negara maju yang didukung PPh orang pribadi, di Indonesia setoran PPh orang pribadi masih kecil.


Harus diingat, penyelarasan NIK serta NPWP ini baru langkah pertama dari design besar perancangan skema pendeteksi/pantauan keuangan private. Dari skema berikut dapat dibuat seperti pusat data, yang dari sana Ditjen Pajak (DJP) bisa kumpulkan data keuangan satu subyek pajak spesifik.


Baca : Ditjen Pajak Perlebar Uji Coba Kartin1 untuk Nasabah Bank HimbaraData itu yang dipakai DJP untuk memeriksa harta serta pendapatan yang disampaikan harus pajak lewat surat pernyataan (SPT). Untuk membuat pusat data itu, dibutuhkan banyak data atau Big Data, sekaligus juga konsolidator atau integrator di semasing lembaga pemilik data.


Big data pajak ini—bukan pusat data seperti portal satu data Perpres Nomor 39 Tahun 2019—terdiri atas bermacam data yang terus bergerak. Contohnya data credit perbankan, data transaksi tanah, rumah, mobil, data tagihan listrik, telephone, air, asuransi, data transaksi digital, dan sebagainya.


Kehadiran pusat data itu penting buat DJP untuk memeriksa kebenaran harta serta pendapatan yang disampaikan harus pajak. Tanpa ada data pengimbang yang dapat dipercaya itu, susah menginginkan kesukarelaan serta kejujuran harus pajak dalam memberikan laporan harta serta kekayaan yang dipunyainya.


Baca : Mengajukan Keberatan oleh Kuasa Harus Pajak Belum Dapat di E-ObjectionUU No. 28/2007 mengenai Ketetapan Umum serta Tata Langkah Perpajakan sudah memerintah harus pajak untuk betul dalam isi SPT. Salah satunya persyaratan ‘benar' ialah betul-betul sesuai situasi sebetulnya. Tetapi, tanpa ada data pengimbang, pengujian ‘kebenaran' SPT susah dilaksanakan.


Ada pusat data itu sendirinya mengangkat daya saing perpajakan negara. Pengelola negara, dengan transparansi semacam itu, pasti memikir 2x untuk berperilaku korup. Semua transaksi telah terlihat. Dalam kata lain, pusat data itu sisi dari usaha koalisi demokrasi.


Seperti Estonia serta Selandia Baru, dua negara demokratis yang terus diambil Tax Foundation untuk negara dengan daya saing perpajakan paling tinggi. Kedua-duanya mempunyai pusat data. Selandia Baru perlu 7 tahun membuat Longitudinal Business Database. Estonia perlu tiga tahun membuat X-Road.


Baca : Buat Meterai Elektronik, DJP Jejaki Kerjasama dengan Faksi Ke-3Kewenangan DJP mengumpulkan data serta info perpajakan berkaitan dengan akseptasi memang lepas dari reformasi perpajakan step I/1984 serta reformasi perpajakan step II/2000. Baru pada reformasi perpajakan step III/2007 wewenang itu diberi lewat Klausal 35A UU KUP.


Dengan klausal berikut semestinya DJP bergerak merealisasikan pusat data itu. Pasti, DJP tidak dapat bergerak sendiri. Karena yang bertambah penting ialah ada tekad politik dari pemerintah, DPR, serta aktor usaha. Jika political will itu ada, pasti kehadiran pusat data itu bukan hal susah.


Postingan populer dari blog ini

tell valid health information from pseudoscience

From the land to the lab

From warp drives to waves